Drs. P. Pieter Djoka, MT
NTT Province
Human Resource Development Bureau Regional
Jalan Fetor
Foenay Kolhua Kec. Maulafa Kota Kupang NTT
(Diterima 30-07-2017;
Diterbitkan 12-08-2017)
Corresponding
author: Drs.P. Pieter Djoka, MT, E-mail djokapp24@gmail.com
Tel:
+6285239171133 / WA :+6281276662446.
Pengantar
Puji dan syukur
kehadirat Tuhan YMK, karena atas perkenannya saya boleh menyelesaikan artikel
sederhana ini dengan judul : Pancasila Dari Nusa Bunga Untuk
Indonesia.
Permohonan maaf, kalau dalam
penyajian materi ini terdapat banyak kekurang sempurnaan, karena dari 20
penulis artikel yang dipercayakan Dinas Perpustakaan NTT, saya merupakan
pendatang baru, dengan batas waktu tidak lebih dari 2 minggu, namun kepercayaan
dimaksud sebagai warga Kupang, kelahiran Detusoko Ende Flores, tempat lahirnya
Pancasila, saya mencoba menyampaikan beberapa hal.
Terimakasih berlimpah kepada Kepala
Dinas Perpustakaan Provinsi NTT, juga Bapak Very Guru,S.Sos, yang telah
mempercayakan kami, walau saya sendiri belum tahu kriteria kalau saya sebagai
salah satu penulis buku Pancasila lahir
dari bumi NTT, dari perspektif sosial, politik dan kultural (Tokoh Etnis
Ende).
Pendahuluan
"Suatu kekuatan gaib
menyeretku ke tempat itu hari demi hari. Di sana, dengan pemandangan laut lepas
tiada yang menghalangi, dengan langit biru yang tak ada batasnya dan mega putih
yang menggelembung, di sanalah aku duduk termenung berjam-jam. Aku memandangi
samudera bergolak dengan hempasan gelombangnya yang besar memukuli pantai
dengan pukulan berirama. Dan kupikir-pikir bagaimana laut bisa bergerak tak
henti-hentinya. Pasang surut, namun ia tetap menggelora secara abadi. Keadaan
ini sama dengan revolusi kami, kupikir. Revolusi kami tidak mempunyai titik
batasnya. Revolusi kami, seperti juga samudra luas, adalah hasil ciptaan Tuhan,
satu-satunya Maha Penyebab dan Maha Pencipta. Dan aku tahu di waktu itu bahwa
semua ciptaan dari Yang Maha Esa, termasuk diriku sendiri dan tanah airku,
berada di bawah aturan hukum dari Yang Maha Ada."
Pancasila adalah
dasar filsafat Negara Republik Indonesia yang secara resmi disahkan oleh PPKI
pada tanggal 18 Agustus 1945 dan tercantum dalam Pembukaan UUD 1945,
diundangkan dalam berita Republik Indonesia Tahun II 07 bersama-sama dengan
batang tubuh UUD 1945.
Dalam
perjalanan sejarah, eksistensi Pancasila sebagai dasar filsafat NKRI mengalami
berbagai macam interpretasi dan manipulasi politik sesuai dengan kepentingan
penguasa demi kokoh dan tegaknya kekuasaan yang berlindung dibalik legitimasi
ideologi Negara Pancasila. Dengan lain perkataan dalam kedudukan yang seperti
ini, Pancasila tidak lagi diletakan sebagai dasar filsafat serta pandangan
hidup bangsa dan negara Indonesia melainkan direduksi, dibatasi dan
dimanipulasi demi kepentingan politik penguasa pada saat itu.
Jikalau
jujur sebenarnya dewasa ini banyak tokoh serta elit politik yang kurang
memahami filsahat hidup serta pandangan hidup bangsa kita Pancasila, namun
bersifat seakan-akan memahaminya. Akibatnya dalam proses reformasi diartikan
kebebasan memilih ideologi di negara kita, kemudian pemikiran apapun yang
dipandang menguntungkan demi kekuasaan dan kedudukan dipaksakan untuk diadopsi dalam sistem
kenegaraan kita.
Oleh
karena itu kiranya merupakan tugas berat kalangan intelektual untuk
mengembalikan persepsi rakyat yang keliru tersebut kearah cita-cita bersama
bagi bangsa Indonesia dalam hidup bernegara.
Munculnya berbagai gerakan
radikalisme dan ekstremisme yang cenderung mengganggu persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia, menuntut kita untuk kembali menggali aka keberadaan Pancasila
sebagai dasar dan ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Paling
tidak ada lima (5) alasan mendasar mengapa Pancasila hingga kini masih sangat
dibutuhkan dan relevan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertama, Pancasila merupakan sistem
filsafat terbaik yang dimiliki bangsa. Kedua,
Pancasila merupakan sistem nilai fundamental. Ketiga, Pancasila adalah dasar negara. Keempat, Pemerintah harus bertanggung jawab memelihara,
mengembangkan, dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila. Dan Kelima, negara harus bertanggung
jawab membudayakan Pancasila melalui
pendidikan secara sadar, terencana dan terlembaga.
Perspektif Sosial, Politik dan Kultural
1.
Perspektif Sosial
Ende, ibu kota Kabupaten Ende di Pulau
Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), tidak bisa dipisahkan dari Bung Karno dan
Pancasila. Kepada Cyndi Adams, penulis buku otobiografi "Bung Karno :
Penyambung Lidah Rakyat Indonesia", Presiden pertama Republik Indonesia
ini mengaku mendapatkan inspirasi-ilham melahirkan dasar negara Pancasila saat
diasingkan penjajah Belanda ke Ende. Sang Proklamator berujar, "Di kota
ini kutemukan lima butir mutiara, di bawah pohon Sukun ini pula kurenungkan
nilai-nilai luhur Pancasila". Selama empat tahun, yakni 1934-1938 diasingkan
ke Ende, Bung Karno memiliki banyak waktu untuk merenung dan memikirkan
falsafah negara Pancasila. Ia sadar, Indonesia merdeka membutuhkan dasar negara
sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketajaman nalar Bung Karno makin diasah
lewat banyak diskusinya dengan para Pastor Katolik berkebangsaan Belanda. Para
Pastor dengan latar belakang pendidikan Eropa yang baik, dan nota bene ahli
filsafat dan ilmu humaniora menjadi "sparing-partner" Bung Karno
dalam dialektika dan diskursus. Hidup menyatu dengan warga Muslim dan Katolik,
serta menyerap berbagai pemikiran Pastor Katolik mengenai isme besar dunia yang
berkembang kala itu membuat spiritualitas dan intelektualitas Bung Karno makin
diperkaya. Pengasingannya ke Ende tidak mematikan nyala api perjuangan
kemerdekaan Indonesia, justru makin memacunya melahirkan gagasan besar mengenai
ideologi Pancasila.
Pohon Sukun dalam bahasa daerah setempat
disebut "Pu'u Pire", yang artinya "Pohon Pantangan" atau
"Pohon Keramat". Maksudnya, akar Pancasila menancap kuat di bumi
Nusantara dan pantang dicabut dari bumi Nusantara. Ende, Sa'o Ria Bhewa
Pancasila, Rumah Besar Pancasila, sekaligus rahim dan ibu Pancasila. Ende
sungguh kota Pancasila. Saking kuatnya ikatan emosional-historis antara Bung
Karno dan Ende, rute jalan yang biasa dilaluinya dari rumah pengasingan milik
Haji Abdullah Ambuwaru menuju Gereja Katolik Kristo Regi untuk bertemu
sahabatnya Pastor Paroki Ende, Pater Gerardus Huijtink,SVD lalu dinamakan Jalan
Soekarno. Ende, Soekarno dan Pancasila memang tak bisa dipisahkan.
Meditasi
menenangkan pikiran dan menyingkirkan pikiran-pikiran yang mengganggu. Ini
adalah keadaan tertinggi dari kedamaian pikiran. Cobalah dan alami sendiri.
Jika kita bermeditasi secara teratur setengah jam sehari, pikiran dan hati kita
akan menjadi lebih tenang dalam dua puluh tiga setengah jam sisanya. Pikiran
dan hati kita menjadi tidak mudah terganggu seperti sebelumnya. Kita akan makin
mendapat manfaat jika kita meningkatkan waktu untuk meditasi secara teratur.
Kita mungkin akan berpikir hal ini bisa mengganggu pekerjaan kita sehari-hari.
Justru sebaliknya, hal ini akan meningkatkan efisiensi dan kita akan bisa
memproduksi hasil yang lebih baik dalam waktu yang lebih singkat.
Dalam hening, Bung Karno tertarik lebih
dalam belajar soal Islam. Ia juga secara seksama memerhatikan praktek hidup
berdampingan secara damai antara penganut Muslim dan umat Katolik lokal di
Ende. Ende memberi pesan, keberagaman bukan beban, melainkan aset yang
menyatukan-menguatkan Indonesia. Di Ende Bung Karno menyaksikan pergaulan akrab
masyarakat pesisir pantai yang Islam dan orang gunung yang Katolik. Tak ada
prasangka buruk di antara mereka. Gereja Katolik bahkan dibangun di atas tanah
milik keluarga Muslim Ende yang dihibahkan ke misionaris Katolik. Demikian
pula, pembangunan Mesjid juga dibantu umat Katolik. Berbeda dalam persatuan,
bersatu dalam perbedaan, itulah Indonesia, itulah Ende yang Bung Karno lihat
pada masa itu. Sama dengan Bung Karno yang berayahkan Jawa Muslim dengan ibu
berlatar belakang Bali Hindu, identitas Indonesia adalah heterogen, pluralis, beragam,
bukan seragam. Di Ende, Bung Karno menjadi lebih relijius dan memaknai
pluralisme secara lebih mendalam. Ia sungguh sosok nasionalis-pluralis sejati.
Beberapa catatan ketika Soekarno mendarat di Pelabuhan Ende
(1934) Soekarno menemukan fakta bahwa Ende sebagai kota kecil dengan penduduk
sekitar 30.000 orang saat itu, sangat berbeda dengan apa yang Ia tahu dan membaca
selama di pulau Jawa. Ternyata di Ende sudah ada cendekiawan( para pastor SVD
yang selama ini bertugas di Flores dan Timor).
Bagi Soekarno,
Ende selain sebuah kampung kecil juga ada nilai-nilai lain yang Ia temukan
antara lain nilai gotong royong dan kebersamaan dalam masyarakat Ende. Bahkan
selama 4 tahun di Ende, Soekarno sudah bisa berbicara bahasa Ende, karena
setiap hari ia berkomunikasi dan bergaul dengan masyarakat kecil yang lugu
seperti penjual ikan, sayur dan beberapa orang lainnya.
Kalau ada kedukaan di sekitar rumahnya
Soekarno juga ikut pengajian. Bahkan Ia tidak segan menukarkan pisang goreng
masakan isterinya Inggit Ganarsih dengan sayur mayur dari masyarakat kecil
disekitar kediamannya di Ende. Inilah nilai-nilai gotong royong ala orang kecil
yang diserap oleh Soekarno.
Kalau selama di Pulau Jawa, Soekarno
tenggelam dalam berbagai kegiatan pergerakan dan diskusi sehingga tidak sempat
belajar agama Islam secara mendalam. Ketika di Ende, Soekarno lebih banyak
belajar agama Islam dan melakukan korespondensi dengan para ulama di Bandung ,
Surabaya dan Jogyakarta. Jadi di Ende lah Soekarno mendalami agama Islam .
Justru di Ende lah Soekarno memberi
contoh dalam kehidupan beragama. Ia menjadi seorang muslim yang taat dan saleh dengan
mengerjakan kewajiban sholat lima waktu. Namun di Ende lah Soekarno pelan-pelan
masuk kembali ke dalam dunia cendekiawan baru yakni melakukan diskusi dengan
para pastor SVD di Biara Misi Jalan Katedral Ende.
Selama di Ende, Soekarno juga
menyenangi budaya Ende Lio dgn mengenakan sarung Ende. Selama pembuangan , juga
menyusun cerita tonil (drama) dan mendirikan Kelimoeteo Toneel Club
bersama kawan-kawannya . Kegiatan cendekiawan pertama adalah studi Islam.
Dengan gurunya Haji Oemar Said Tjokroaminonto, Soekarno mengenal Islam lebih
mendalam.
Selain mendalami Islam, di Ende
Soekarno mendapat kawan diskusi yang seimbang seperti dengan Pater
Johannes van der Hijden,SVD, yang menjadi teman diskusi soal
agama-agama dan memperkenalkan agama
katolik kepadanya.
Kawan diskusi Soekarno yang kain
adalah Pater Huijtink SVD,
pater ini ditugaskan Belanda untuk mengedit naskah drama Soekarno tetapi
akhirnya menjadi kawan diskusi yang baik. Inilah kelompok yang paling terdidik
yang bisa mendampingi Soekarno selama di Ende. Terdapat Pater Bouma,SVD, yang
mampu meladeni debat dengan Soekarno. Selain itu Pater Van Stiphout SVD
sekaligus ahli filsafat.yang baru selesai studi dari Roma
Menurut Dr Daniel Dhakidae, bahwa
Soekarno tampaknya menemukan kawan setara untuk diskusi. Dalam diskusi itu
membahas berbagai masalah mulai dari berbagai ragam pengetahuan kita tahu pula
ada istilah Vivere pericoloso dan demokrasi terpimpin yang sebetulnya istilah ini diambil dari
perkataan Musolini dari Italia seperti yang diceritakan oleh Pastor Van
Stiphout SVD yang sangat paham tentang
Musolini di Italia.
2.
Perspektif Politik
Bung
Karno seorang politikus, seorang insinyur, seorang pemimpin, seorang
Presiden, juga seorang suami dan seorang ayah, serta masih ada sebutan-sebutan
lainnya. Namun ada satu sebutan yang sejak ia muda hingga wafat tetap melekat
pada dirinya, Bung Karno seorang seniman. Seni mengalir deras dalam jiwanya,
dan sedikit atau banyak selalu turut mempengaruhi setiap tingkah dan lakunya.
(Sewindu Dekat Bung Karno, Bambang Widjanarko 2010 hal.34)
Disamping mempunyai koleksi lukisan yang
indah-indah, Bung Karno sendiri memang mengerti dan dapat melukis. Salah satu
lukisan buah karyanya adalah yang dibuatnya sewaktu ia dibuang di Flores ketika
jaman penjajahan Belanda. (Sewindu Dekat Bung Karno, Bambang Widjanarko 2010
hal.37)
Bung Karno dilahirkan di Jawa Timur dari
seorang ayah Jawa dan Ibu Bali. Bung Karno juga dibesarkan di Jawa Timur. Dengan latar belakang itu,
wajar sekali jika Bung Karno menyenangi wayang dan tembang Jawa. (Sewindu Dekat
Bung Karno, Bambang Widjanarko 2010 hal.40)
Konon, dikucilkan jauh dari keramaian
membuat Bung Karno yang biasa dikerumuni dan dielu-elukan massa saat berpidato,
sempat mengalami frustrasi. Selain
"melarikan diri" dengan berkontemplasi, Bung Karno juga
mengekspresikan bakat seninya dengan melukis, juga menulis naskah drama dan
bermain tonil bersama masyarakat lokal. Beberapa kali Bung Karno mementaskan
drama di Gedung Pertunjukan Katolik Santa Maria Immaculata. Ia rajin mendatangi
kampung-kampung di Ende, menyapa warga dan mengunjungi Danau Kelimutu sehingga
lahirlah naskah drama berjudul "Rahasia Kelimutu".
Kemudian timbul pertanyaan lain mengapa Soekarno harus dibuang ke Ende
Flores NTT bukan ke Pulau atau daerah lain yang sudah lebih maju ? alasan
dipilih tempat terpencil yang jauh dari kegiatan politik pergerakan di pulau
Jawa.
Dengan mengasingkan Soekarno ke Ende
Flores yang terpencil dan tidak ada hubungan komunikasi yang cukup baik saat
itu, tujuan Belanda adalah agar gelora jiwa Sioekarno yang berjuang bersama
kawan-kawannya di Pulau Jawa terutama Jakarta, Surabaya, akan hilang ditelan
waktu.
Mengutip Dr Daniel Dhakidae, Prisma vol
32, No 2 &No 3 2013, pembuangan
Soekarno ke Ende sama sekali tidak menarik perhatian para petinggi Belanda saat
itu. Bahkan kolonial Belanda berkeyakinan dengan berada di tempat terpencil
Ende Pulau Flores yang terkenal dengan nyamuk malaria, lama kelamaan Soekarno
akan sakit dan mati dan tidak lagi memperjuangkan kemerdekaan Negeri ini.
Jauh dari teman-temannya pejuang
kemerdekaan, para loyalisnya dan hiruk-pikuk pergerakan politik, Bung Karno
lebih banyak menghabiskan waktunya untuk merenung. Dengan demikian, buah
pemikiran Soekarno tentang Pancasila tidak muncul tiba-tiba. Pancasila hadir
sebagai hasil dari proses perenungan diri Bung Karno, kontemplasi dan
refleksinya secara mendalam selama hidup di Ende. Dikutip dari buku "Bung
Karno dan Pancasila, Ilham dari Flores untuk Nusantara", dikisahkan saat
di Ende, Bung Karno menjadi lebih banyak berpikir daripada sebelumnya. Ia lebih
reflektif-kontemplatif saat di Ende sebab tak banyak aktivitas politik yang
bisa ia lakukan di kota kecil nan sunyi yang jauh dari ibu kota dan pusat
pergerakan.
3.
Perspektif Kultural
Nilai-nilai kultural yang dimiliki
bangsa Indonesia melalui proses refleksi filosofis para pendiri negara seperti
Soekarno, M. Yamin, M.Hatta, Soepomo serta para tokoh pendiri negara lainnya.
Kebudayaan Ende-Lio masih sangat
dipengaruhi/ ditentukan oleh nilai-nilai kepercayaan yang merupakan simbiose
animisme bernafaskan spiritualisme. Jauh di masa lampau, kebudayaan yang
tergelar disepanjang padang berbukit pernah digagahi oleh berbagai kebudayaan
asing dalam rentang waktu yang cukup lama. Namun berbagai kebudayaan luar itu
ternyata tidak mampu membawa perubahan yang berarti terhadap kebudayaan Lio.
Hingga saat
ini, kebudayaan Lio pada semua tatarannya tetap tampil tegar dengan sosoknya
yang asli.Berbagai wujud kebudayaan modern yang kian kuat diwarnai dan
ditentukan oleh pola pikir nasional memang telah menjejakkan kakiknya di Lio,
namun getaran pengaruhnya terbatas dalam kehidupan perkotaan saja. Sementara di
pedalaman keseluruhan wujud dan sistem nilai kebudayaan “DU’A NGGA’E” masih
tetap hidup utuh dan menjadi pegangan hidup pada masyarakat Lio.
Lembaga-lembaga pendidikan formal memang telah masuk menjangkau hampir seluruh
pelosok Lio, namun pola pikir analis rasional yang diintrodusirnya ternyata
tidak bisa menggeser pola pokir tradisional yang bercorak sintetis dan
mitismagis.
Ikatan
primordial masih terjalin amat erat dan keseluruhan lingkup kehidupan dan
penghidupan masih tetap diatur oleh Hukum Adat yang mendapatkan legitimasinya
dari kekuatan supernatural.
Sistem Religi
Secara
turun-temurun orang Lio percaya akan adanya suatu wujud Ilahi tertinggi,
roh-roh (spirits) dan kepercayaan akan adanya kehidupan setelah kematian. Dan
orang Lio menyebut wujud tertinggi sebagai DU’A NGGA’E.
Du’a berarti yang tua atau yang berumur
dan Ngga’e berarti keindahan
atau berbudi luhur atau bermurah hati.
Wujud ilahi
tertinggi sebenarnya ada sebuah nama yang panjang yaitu: DU’A GHETA LULU WULA,
NGGA’E GHALE WENA TANA artinya yang tinggal jauh diatas dibalik
bulan yang berbudi luhur, yang tinggal jauh dibawah, didalam Bumi.
Dengan nama
itu orang Lio mau mengungkapkan hakekat dan sifat khas utama ilahi tertinggi
itu antara lain, bahwa wujud ilahi tertinggi itu mirip seorang tua yang berbudi
luhur, yang hanya mengenal kebaikan dan tak mengenal kejahatan sedikitpun.
Namun
demikian wujud ilahi tertinggi itu melebihi sosok manusia yang paling perkasa.
Sebab DU’A NGGA’E terutama dialami sebagai Pencipta, Penyelenggara, dan Penguasa
segala sesuatu, baik yang berada di Bumi maupun di langit.
Dengan
demikian jelas orang Lio mengalami DU’A NGGA’E sebagai suatu misteri iman yang
harus dilaksanakan dalam setiap peristiwa, baik Kelahiran, Perkawinan, Kematian maupun
pada saat Panen dan Kelaparan.
Dari
theologi ini tercermin pandangan orang Lio tentang Dunia dan Manusia. Bagi
orang Lio, Dunia dan Manusia adalah ciptaan DU’A NGGA’E oleh karenanya
keberadaan Dunia dan Manusia bergantung pada DU’A NGGA’E dan tidak boleh
dirubah.
Selain
percaya pada DU’A NGGA’E orang Lio juga percaya akan adanya Nitu/roh-roh halus. Menurut sifatnya Nitu dibedakan dalam dua kelompok yakni,
Nitu Molo dan Nitu Ree.
Nitu Molo yaitu roh yang terdapat pada
setiap makhluk atau benda sebagai pelindung dari benda atau makhluk tersebut,
misalnya:
-
Nitu Dai Sao (Roh Pelindung Rumah)
-
Nitu Nua (Roh Pelindung Kampung)
-
Nitu Ae (Roh Penjaga Sungai dan Mata Air)
-
Nitu Ngebo (Roh Penjaga Kebun)
Sedangkan Nitu Ree adalah roh jahat yang berkeliaran disekitar tempat tinggal
manusia seperti:
-
Nitu Fengge Ree (Roh Perusak Tanaman dan Manusia)
-
Nitu Longgo Mbenga (Roh Wanita yang suka mencelakakan
anak-anak)
-
Ule Ree (Roh yang menggoda kaum pria dan wanita untuk melakukan
hubungan sex yang tidak terpuji)
Orang Lio juga berkeyakinan bahwa
kematian bukan merupakan ketidakhadiran radikal melainkan perpindahan tempat
saja setelah kematiannya, manusia tetap hadir dalam wujud Roh atau Ana Mae, yang tetap diperlukan sebagai
warga suku dan mempunyai peran terhadap sukunya.
Lebih lanjut dikatakan, semua Ana Mae yang juga disebut Nitu Ata, tempat berkumpulnya di puncak
gunung Kelimutu.
Kelimutu sesungguhnya berasal dari
keyakinan tersebut:
-
Keli
berarti gunung.
-
Mutu
berarti berkumpul.
Tetapi keyakinan tersebut, Ana Mae yang berkumpul di Kelimutu,
hanyalah roh nenek moyang atau Embu Babo/
Embu Mamo. Roh-roh manusia yang baru meniggal dianggap masih berkeliaran
disekitar kampung.
Keyakinan akan adanya kekuatan
tersebut membangkitkan iman setiap warga, yang ditandai dengan beberapa sikap
penyerahan diri – dimana dapat dilihat pada kejadian-kejadian alam yang
dahsyat.
Dalam peristiwa semacam ini orang
Lio menyatakan sikap kepatuhannya kepada DU’A NGGA’E melalui Doa dan Paa Loka serta persembahan. Secara
spatial kebaktian itu dilakukan di Wisu
Lulu yakni diruang sudut kanan belakang dari ruang dalam (ONE) sebuah rumah
adat (SAO NGGUA) atau SAO RIA.Saga yang
terletak dihalaman diluar rumah kebaktian terutama dilakukan di Tubu Kanga/ Tubu Saga yang terletak
dihalam depan SAO NGGUA/SAO RIA.Kebaktian untuk DU’A NGGA’E dan Embu Babo selain dilakukan sejalan
karena orang Lio selalu membutuhkan EMBU BABO untuk menjadi pengantara
menghadap DU’A NGGA’E.Wisu Lulu dan Tubu Kanga dibaktikan hanya untuk
menghadap DU’A NGGA’E, sedangkan untuk Nitu
Kebaktian dilakukan ditempat-tempat lainnya. Persebahan untuk DU’A NGGA’E, Embu Babo dan Nitu Molo berbeda dengan bentuk Nitu
Ae.
Masyarakat Ende Lio ditinjau dari
segi sosiologis, termasuk kelompok masyarakat yang memiliki prinsip-prinsip
solidaritas dan reprositas, dimana prinsip-prinsip solidaritas terlihat pada
pranata-pranata perkawinan, kematian maupun bercocok tanam-sedangkan
prinsip-prinsip resiprositas yang bisa terlihat pada hubungan struktur diantara
kelompok suku yang ada.
Patut diakui kehadiran agama
Katolik-sebagai pemeluk mayoritas Ende Lio mampu memperkuat dan mempertebal
semangat dan nilai-nilai sosial yang dimiliki masyarakat.Dilihat dari segi
psikologis-budaya, Ende Lio memperlihatkan tipe pergaulan terbuka apalagi
mendapat pendekatan yang baik, bersedia mengungkapkan secara terbuka perasaanya
dalam berhubungan dengan sesamanya maupun dengan kelompok luar. Sikap
ramah-tamah dengan tamunya diperlihatkan dengan jelas, selain itu sikap
menghargai dan patuh kepada pimpinan sangat besar, sehingga tidak sulit apabila
diberi pembinaan.Meskipun nilai-nilai feodal masih sedikit terasa, namun setiap
warga secara individual memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan
kemampuannya menjadi besar.
Dalam proses permenungannya melahirkan
gagasan Pancasila, terdapat satu tempat keramat bernilai historis yang rajin
didatangi Bung Karno untuk berkontemplasi.
Tempat itu adalah di bawah pohon Sukun yang tumbuh menghadap langsung ke
Pantai Ende. Kini, di lokasi itu telah dibangun Monumen dan Patung Permenungan
Soekarno. Letak pohon Sukun itu berjarak 700 meter dari kediamannya. Secara
rutin Bung Karno seorang diri datang ke tempat itu setiap Jumat malam. Ia bisa
menghabiskan waktu berjam-jam berada di bawah pohon Sukun itu. Di tempat itu,
Bung Karno mengaku buah pemikiran Pancasila tercetus sebagaimana dikisahkan nya
:
Penutup
Bung Karno
sebagai proklamator dan Bung Karno sebagai tokoh politik nasional dan
internasional telah banyak ditulis orang.
Soekarno, sang Proklamator
kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohamad Hatta), yang menggali Pancasila
dan dikenal diseluruh negeri sebagai Presiden pertama RI yang berkharisma.
Setiap
orang dilahirkan dengan banyak segi, yang terlihat maupun yang tidak terlihat,
ada baiknya ada pula buruknya, mempunyai kelebihan dan juga kekurangan. Begitu
pula Bung Karno atau Soekarno, Pahlawan, Proklamator, dan Presiden RI pertama.
Dengan segala keadaannya , positif maupun negatif, Bung Karno akan terus dikenang
dan dibicarakan orang.
Bung Karno telah memberikan dan
mengorbankan segala-galanya yang beliau miliki bagi Nusa dan Bangsa Indonesia
yang beliau cintai. Di media sosial, ada foto Bung Karno dengan tulisan
sebagai berikut : Bangga Ja’o (saya) jadi ata (orang) Ende. Dari kota kecil Ende ini,
Pancasila dicetuskan untuk Indonesia.
Semoga tulisan ini lebih dapat
menguatkan jiwa kebangsaan didalam diri kita.
DAFTAR
PUSTAKA
1. 80 th Bung Karno, Penerbit Sinar
Harapan
2. Bambang
Wijanarko, Sewindu Dekat Bung Karno, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Juli
2010.
3. Ben
Mboy, dr., MPH., ; Biografi.
4. Bung Karno di Kata Dunia
Baru,Kenangan 100 tahun Bung Karno – Grasindo
5. Bung Karno, Ilham dari Flores untuk
Nusantara, Penerbit Nusa Indah.
6. Cindy
Adams: Dibawah Bendera Revolusi.
7. Cindy
Adams: Soekarno Penyambung Lidah Rakyat Jili Pertama
8. Daniel
Dhakidae, Dr., Prisma, Vol. 32, No 2 & 3, 2013.
9. Djon Pakan. Kembali ke Jatidiri
Bangsa Indonesia.
10. Frans
Seda, Dr.,: Symfony Tanpa Henti
11. Garuda Emas Pancasila Sakti,Yayasan
Pembela Tanah Air Pusat (PETA)
12. H. Mangil Martowidjoyo. Kesaksian
Tentang Bung Karno,1945-1967,– Grasindo
13. Kaelau,
Dr., MS., Pendidikan Pancasila, Fakutas Filsafat UGM, Paradigma Yogyakarta,
2004.
14. Pancasila suatu orientasi singkat,
Penerbit Aries Lima – Jakarta.
15. Pieter
Djoka, Karakteristik DTW Ende-Lio, Buletin Lintasan Wisata, Edisi ke 2, 92/93.
16. Prisma:
Edisi 32, Vol 2 & Vol 3 2013
17. Roso
Daras: Total Bung Karno.
18. Rozali Abdulah, SH., Pancasila
Sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa.
19. Soedjono dr., Monumen Pancasila
Sakti, PT.Rosda Jayaputra – Jakarta, 1984.
20. Soeharto:
Ucapan, Tindakan Saya, Otobiografi – G Dwipayana
21. Soekarno
Ir., Membangun Dunia yang Baru (To Build The World A New), Media Presindo,
Sagan GK V/979 Yogyakarta, 55223, Cet. I-Des 2000.
23. Willemijn
De Jong, Prof. Dr., Luka, Lawo, Ngawu, Kekayaan Kain Tenunan dan Belis di
Wilayah Lio, Flores Tengah, Penerbit Ledalero, Agustus 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar